JALAN CINTA BUYA: BUKU KEDUA DARI DWILOGI HAMKA
Penerbit | : | IIMAN REAL |
Penulis | : | HAIDAR MUSYAFA |
Di masa Demokrasi Terpimpin, Buya Hamka adalah sosok yang kadang berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno, dan juga berseberangan dengan Kaum Komunis. Melalui Majalah Lentera, karya-karyanya diserang habis. Berbulan-bulan lamanya ia hadapi hantaman orang-orang yang tak sepaham dengannya. Dua tahun empat bulan lamanya, Buya Hamka hidup dalam penjara rezim Sukarno. Meski begitu, ia tak marah. Buya tidak hanya dekat dengan mereka yang sepaham-sepemikiran, tapi juga tidak menghindari orang yang tidak ia sukai....
*Harga belum termasuk diskon reseller.
Deskripsi Produk
Di masa Demokrasi Terpimpin, Buya Hamka adalah sosok yang kadang berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno, dan juga berseberangan dengan Kaum Komunis. Melalui Majalah Lentera, karya-karyanya diserang habis. Berbulan-bulan lamanya ia hadapi hantaman orang-orang yang tak sepaham dengannya. Dua tahun empat bulan lamanya, Buya Hamka hidup dalam penjara rezim Sukarno. Meski begitu, ia tak marah. Buya tidak hanya dekat dengan mereka yang sepaham-sepemikiran, tapi juga tidak menghindari orang yang tidak ia sukai. Ia berprinsip bahwa dengan mengenal sesama yang berbeda, akan menemukan sudut pandang baru. Meski ilmunya sangat tinggi, ia tak pernah merasa besar diri. Sikap hidupnya yang lurus terbukti saat ia menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia jalankan amanah itu dengan penuh tanggung jawab. Meski mendapat banyak tekanan, ia tetap teguh bersikap dan memegang prinsip. Baginya, kehebatan ulama diukur sejauh mana ia mampu melembutkan kerasnya hati para pembenci, dan sejauh mana kemampuannya menenangkan jiwa-jiwa yang gundahgulana.
Hamka adalah sosok ulama paripurna, moderat, teduh yang tidak mudah membuat gaduh, apalagi memancing di air keruh. Tuturan dan pesan dakwahnya selalu menyejukkan bukan memojokkan, mengundang simpati, jauh dari kata umpat dan hujat. Figur ulama pembina bukan penghina, pendidik bukan pembidik, pengukuh bukan peruntuh. Ketika mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan memihak umat Islam, Buya lebih memilih jalur pena dalam rangka menyampaikan aspirasi dan pesannya daripada menggalang aksi massa. Pendiriannya teguh, prinsipnya kuat, namun lentur dan menaruh hormat kepada liyan yang berbeda. Sosok ulama besar yang bersahaja, tak terbeli, independen, dan tak gemar mengobral fatwa. Beragam laku luhur inilah yang membuat ulama keturunan Minangkabau ini disegani semua orang, semua golongan.
Jalan Cinta Buya adalah novel kedua dari dwilogi Hamka.
ENDORSEMENT:
“Saya sangat berharap, kehadiran buku ini dapat menjadi sarana bagi generasi bangsa ini untuk mengenal lebih banyak lagi tentang Buya Hamka. Sebab dari Buya Hamka kita dapat belajar banyak, tentang bagaimana caranya menjadi muslim seutuhnya.”
—Ahmad Syafii Maarif, tokoh nasional
“Membaca buku ini, kita akan mendapati sajian yang runut tentang kisah hidup dan perjuangan seorang Hamka yang mendekati kenyataan.”
—Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP., Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
“Di dalam diri seorang Buya Hamka, menyatu berbagai sebutan, antara lain sastrawan, wartawan, budayawan, sejarawan, ulama, mubalig dan lain sebagainya. Buya Hamka bukan hanya ayah dan imam dalam lingkungan keluarga. Tapi beliau merupakan ayah dan imam bagi umat Islam di Nusantara ini, termasuk di Malaysia, dan negeri-negeri
yang menggunakan bahasa Melayu. Saya sangat antusias menyambut kehadiran buku yang menceritakan kehidupan dan perjuangan Buya Hamka ini. Harapannya, semoga buku ini akan menambah pengetahuan kita tentang sosok Buya Hamka, khususnya bagi generasi muda saat ini.”
—H. Afif Hamka, putra kandung Buya Hamka
“Semoga kehadiran buku Jalan Cinta Buya ini menjadi langkah tepat untuk mengenalkan pemikiran dan perjuangan Buya Hamka pada generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Sehingga perikehidupan dan semangat juang Buya Hamka akan menjadi teladan dan memotivasi mereka untuk terus berbuat dan ikut andil dalam membangun bangsa ini.”
—Yousran Rusydi, S.H., M.Si., cucu Buya Hamka dan penerus Panji Masyarakat
“Saya membaca buku-buku Hamka dan mengikuti pemikirannya yang khas dan cemerlang. Muslim di Indonesia sepantasnya bersyukur pernah menjadi saksi dari perjalanan hidup seorang Hamka. Ia adalah sejarah yang tak hanya patut untuk dicatat. Riwayatnya bahkan harus diabadikan dalam spirit kecerdasan beragama. Kehadiran buku ini tak lain adalah ikhtiar untuk kembali menghidupkan nyala api Hamka.”
—Candra Malik, Sastrawan Sufi
“Tirai kehidupan Buya Hamka yang nyaris tidak terbuka adalah kenyataan bahwa beliau adalah pengamal Tarekat Syattariyyah, yang justru dari sisi itulah kelembutan, kesabaran, ketabahan, ketiadaan dendam, pemaaf, dan kecintaan beliau kepada semua orang, termasuk yang menyakitinya itu bersumber.”
—K.H. Agus Sunyoto, penulis buku Megabestseller Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
“Membaca Jalan Cinta Buya, memberi setitik oase bagi kehidupan masa kini. Nilai-nilai perjuangan, motivasi, inspirasi dari sosok Buya Hamka dalam kapasitasnya sebagai ulama, sastrawan, budayawan, dan penulis patut untuk diteladani, dicontoh dan ditiru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangannya membangun peradaban diakui dunia melalui karya-karya fenomenalnya. Sungguh, buku ini wajib dibaca, ditelaah, dan dianalisa sebagai bagian dari pilar sejarah bangsa Indonesia.”
—Hayat S.A.P, M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
">
Di masa Demokrasi Terpimpin, Buya Hamka adalah sosok yang kadang berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno, dan juga berseberangan dengan Kaum Komunis. Melalui Majalah Lentera, karya-karyanya diserang habis. Berbulan-bulan lamanya ia hadapi hantaman orang-orang yang tak sepaham dengannya. Dua tahun empat bulan lamanya, Buya Hamka hidup dalam penjara rezim Sukarno. Meski begitu, ia tak marah. Buya tidak hanya dekat dengan mereka yang sepaham-sepemikiran, tapi juga tidak menghindari orang yang tidak ia sukai. Ia berprinsip bahwa dengan mengenal sesama yang berbeda, akan menemukan sudut pandang baru. Meski ilmunya sangat tinggi, ia tak pernah merasa besar diri. Sikap hidupnya yang lurus terbukti saat ia menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia jalankan amanah itu dengan penuh tanggung jawab. Meski mendapat banyak tekanan, ia tetap teguh bersikap dan memegang prinsip. Baginya, kehebatan ulama diukur sejauh mana ia mampu melembutkan kerasnya hati para pembenci, dan sejauh mana kemampuannya menenangkan jiwa-jiwa yang gundahgulana.
Hamka adalah sosok ulama paripurna, moderat, teduh yang tidak mudah membuat gaduh, apalagi memancing di air keruh. Tuturan dan pesan dakwahnya selalu menyejukkan bukan memojokkan, mengundang simpati, jauh dari kata umpat dan hujat. Figur ulama pembina bukan penghina, pendidik bukan pembidik, pengukuh bukan peruntuh. Ketika mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan memihak umat Islam, Buya lebih memilih jalur pena dalam rangka menyampaikan aspirasi dan pesannya daripada menggalang aksi massa. Pendiriannya teguh, prinsipnya kuat, namun lentur dan menaruh hormat kepada liyan yang berbeda. Sosok ulama besar yang bersahaja, tak terbeli, independen, dan tak gemar mengobral fatwa. Beragam laku luhur inilah yang membuat ulama keturunan Minangkabau ini disegani semua orang, semua golongan.
Jalan Cinta Buya adalah novel kedua dari dwilogi Hamka.
ENDORSEMENT:
“Saya sangat berharap, kehadiran buku ini dapat menjadi sarana bagi generasi bangsa ini untuk mengenal lebih banyak lagi tentang Buya Hamka. Sebab dari Buya Hamka kita dapat belajar banyak, tentang bagaimana caranya menjadi muslim seutuhnya.”
—Ahmad Syafii Maarif, tokoh nasional
“Membaca buku ini, kita akan mendapati sajian yang runut tentang kisah hidup dan perjuangan seorang Hamka yang mendekati kenyataan.”
—Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP., Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
“Di dalam diri seorang Buya Hamka, menyatu berbagai sebutan, antara lain sastrawan, wartawan, budayawan, sejarawan, ulama, mubalig dan lain sebagainya. Buya Hamka bukan hanya ayah dan imam dalam lingkungan keluarga. Tapi beliau merupakan ayah dan imam bagi umat Islam di Nusantara ini, termasuk di Malaysia, dan negeri-negeri
yang menggunakan bahasa Melayu. Saya sangat antusias menyambut kehadiran buku yang menceritakan kehidupan dan perjuangan Buya Hamka ini. Harapannya, semoga buku ini akan menambah pengetahuan kita tentang sosok Buya Hamka, khususnya bagi generasi muda saat ini.”
—H. Afif Hamka, putra kandung Buya Hamka
“Semoga kehadiran buku Jalan Cinta Buya ini menjadi langkah tepat untuk mengenalkan pemikiran dan perjuangan Buya Hamka pada generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Sehingga perikehidupan dan semangat juang Buya Hamka akan menjadi teladan dan memotivasi mereka untuk terus berbuat dan ikut andil dalam membangun bangsa ini.”
—Yousran Rusydi, S.H., M.Si., cucu Buya Hamka dan penerus Panji Masyarakat
“Saya membaca buku-buku Hamka dan mengikuti pemikirannya yang khas dan cemerlang. Muslim di Indonesia sepantasnya bersyukur pernah menjadi saksi dari perjalanan hidup seorang Hamka. Ia adalah sejarah yang tak hanya patut untuk dicatat. Riwayatnya bahkan harus diabadikan dalam spirit kecerdasan beragama. Kehadiran buku ini tak lain adalah ikhtiar untuk kembali menghidupkan nyala api Hamka.”
—Candra Malik, Sastrawan Sufi
“Tirai kehidupan Buya Hamka yang nyaris tidak terbuka adalah kenyataan bahwa beliau adalah pengamal Tarekat Syattariyyah, yang justru dari sisi itulah kelembutan, kesabaran, ketabahan, ketiadaan dendam, pemaaf, dan kecintaan beliau kepada semua orang, termasuk yang menyakitinya itu bersumber.”
—K.H. Agus Sunyoto, penulis buku Megabestseller Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
“Membaca Jalan Cinta Buya, memberi setitik oase bagi kehidupan masa kini. Nilai-nilai perjuangan, motivasi, inspirasi dari sosok Buya Hamka dalam kapasitasnya sebagai ulama, sastrawan, budayawan, dan penulis patut untuk diteladani, dicontoh dan ditiru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangannya membangun peradaban diakui dunia melalui karya-karya fenomenalnya. Sungguh, buku ini wajib dibaca, ditelaah, dan dianalisa sebagai bagian dari pilar sejarah bangsa Indonesia.”
—Hayat S.A.P, M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
Spesifikasi Produk
SKU | : | XJ-06 |
ISBN | : | 9786027926325 |
Berat | : | 600 gram |
Dimensi (P/L/T) | : | 16 cm/ 24 cm/ 3 cm |
Halaman | : | 532 |
Tahun Terbit | : | 217 |
Jenis Cover | : | Soft Cover |